By: Yessy Nathalia Criestien
Hari itu saya pulang dari kantor lebih malam dari biasanya. Penumpang kereta tujuan St. Jakarta Kota sudah mulai jarang.Udara malam ini dingin sekali. Gerimis mengguyur sejak sore. Tampang penumpang yang kelelahan memenuhi gerbong.
Sesaat sebelum kereta beranjak dari st. Tebet, seorang pemulung laki-laki masuk. Badannya dekil seperti beberapa hari tidak mandi. Kaosnya butut dan berwarna tidak jelas lagi. Laki-laki ini memanggul karung goni besar, sangat besar. Digenggamnya ujung goni rapat-rapat agar isinya tidak tumpah. Barang berharga hasil kerjanya seharian. Dengan susah payah laki-laki ini memasukkan karungnya ke dalam kereta.
Dibelakang laki-laki itu, megikuti, perempuan dengan rambut awut awutan dikucir sekedarnya. Badannya sama dekilnya dengan laki-laki tadi. Perempuan ini menggendong bayi perempuan berumur kurang dari satu tahun dengan jarit batik lusuh yang sudah tidak jelas lagi apa motifnya. Bayi ini pun sama lusuhnya
Di tangan kirinya ada 2 kantung kresek transparant merah dengan isi penuh. Satu kantung berisi baju dan botol susu bayi, yang satu lagi baju yang lain. Di tangan kanannya, perempuan ini memegang mangkuk bayi dengan kuah sop yang masih mengepul di dalamnya.
Mereka kemudian duduk di lantai kereta. Sang suami menyandarkan barang bawaan di dinding gerbong. Sang istri meletakkan kantung-kantung kreseknya, mengendorkan jarit ikatan gendongan dan mengangsurkan sang bayi pada suaminya.
Sekejap setelah sang suami memangku sang anak, perempuan ini dengan tergesa menciumi aroma dan rasa hangat dari setiap uap yang keluar. Dan kemudian menghirup kuah sop tadi dengan perlahan. Nikmat sekali.
Kereta mulai bergerak berjalan. Goyangan kereta rupanya membuat sandaran karung goni bergeser. Bergeser dan miring. Dengan cepat laki-laki ini menahannya dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya masih memeluk sang anak.
Dengan perlahan dia mendudukkan sang anak di lantai, menepuk bahu istrinya, memberi isyarat istrinya agar menjaga si kecil, dan kemudian membereskan ikatan karung goni, menahannya agar tetap berdiri .
Sang istri menoleh sebentar pada anaknya dan tetap menyelesaikan suapan kuah yang sudah di tangannya. Sang anak masih duduk di lantai tanpa ada tangan yang menahan dan memegangnya.
Tiba-tiba kereta menghentak. Hanya hentakan kecil buat saya. Tapi tidak buat si bayi… Si bayi terpental dan terjengkang kebelakang. Kelapanya membentur lantai gerbong yang keras… “DUK”.
Cukup keras terdengar dari jarak 6 meter tempat saya duduk. Tanpa dapat ditahan lagi.. sang anak menangis keras…
Sang bapak melotot..
Sang ibu terhenyak dan dengan segera meletakkan mangkuk sop sop dan mengangkat sang anak, meletakkan dipangkuannya dan mulai menyusuinya..
Sang anak tak juga berhenti menangis..
Sang suami memandang dengan marah kepada istrinya dan kemudian mengambil mangkuk sop itu dengan kasar dan berusaha melemparkan mangkuk sop itu ke luar gerbong.
Sang istri berusaha mencegah dan meraihnya…
“Jangan dibuang b..” belum selesai perkataan sang istri, mangkuk sop lengkap dengan sendoknya itu sudah melayang keluar..
“Kok dibuang sih bang??!! Ha… kok dibuang…??!!” sang istri murka. Hanya sesaat.
Karena sesaat kemudian dia berkata pilu..
“Lu marah ama gua, bang?, lu marah? Lu boleh marah ama gua …. Tapi itu mangkoknya eneng bang…, besok dia makan pake apa?” sang istri meratap…
Seperti ditampar, seketika laki-laki itu memandang wajah istri dan anaknya dengan nanar.. dan kemudian beranjak berdiri menuju pintu gerbong yang selalu terbuka, memandang keluar seperti hendak mengambil kembali mangkuk tadi.
Tapi kereta masih berjalan dengan kecepatan tinggi.
Laki-laki ini terdiam terus memandang nanar keluar pintu...
Kereta berjalan melambat.
Laki-laki itu membereskan barangnya.
Sang istri beranjak berdiri juga, mempererat ikatan gendongan bayi dan kemudian membereskan kantung-kantungnya. Masih terisak.
Sang anak, si eneng, masih menyusu, masih tersedu-sedu.
Distasiun berikutnya mereka turun.
Gerimis masih mengguyur, angin dingin malam pun masih berhembus.
----
Kejadian ini menyentak saya begitu hebat..
Kemarahan tidak pernah memandang tempat, kondisi dan jenis strata sosial.
Dia bisa datang dimana saja, kepada siapa saja dan kapan saja.
Dari situ saya belajar, untuk lebih lagi menyerahkan hati dan pikiran saya padaNya, ketika memulai hari, supaya Dia bisa membantu mengendalikannya sepanjang hari itu.
Jika pun marah itu datang, saya belajar untuk tidak mengambil tindakan apapun sementara amarah saya belum padam.
Karena penyesalan selalu datang terlambat.
----
yessynatalia
15092010, 01.10
untuk seseorang yang merindukan anak perempuannya dengan sangat.