By: Daniel Wijaya
Dalam bahasa Indonesia berarti kereta api yang ternyata diambil dari bahasa penjajah kita, Belanda, Spoor.
Saya termasuk kelompok yang jarang naik kereta api namun karena tempat yang saya tuju lebih efektif menggunakan sarana transportasi ini maka dengan terpaksa beberapa kali ini saya menaikinya. Dibandingkan sarana transportasi umum lainnya maka selisih waktu diantaranya adalah sekitar satu jam. Tentu saja ada sisi kekurangan dari sarana transportasi kereta api ini yaitu kita harus menyesuaikan jadwal.
Tadi pagi saya naik lagi kereta api jenis ekonomi yang berjudul Penataran. Seperti biasa saya sampai di stasiun Kota Baru jam tujuh kurang agar tidak tertinggal. Selanjutnya saya mencari posisi didekat rel paling ujung selatan dengan tujuan agar bisa naik di gerbong terbelakang dengan harapan ada bangku kosong. Pengalaman saya, walaupun saya masih newbie, kebanyakan penumpang lebih cenderung menumpuk dibagian gerbong depan.
Jam 7 lebih sekian kereta api datang dari arah selatan dan nampak lokomotifnya mengeluarkan asap warna hitam. Beberapa kali petugas PJKA memperingatkan agar calon penumpang waspada. Sedikit berebut menaiki gerbong saya akhirnya mengalah ketika serombongan ibu-bapak sekeluarga kelihatan kesulitan menaiki trap menuju pintu yang memang jauh lebih tinggi. Akhirnya saya pun bisa masuk dan memang digerbong belakang longgar selonggarlonggarnya hingga nampak beberapa pemuda menguasahi sebuah bangku dengan selonjorkan kaki. Saya duduk bersebelahan dengan bapak berseragam petugas PJKA yang sedang tidur nyenyak. Didepan saya seorang pemuda dengan usia sekitar 25tahunan berseragam PJKA tapi masih kelihatan baru tidak seperti bapak disebelah saya.
Sekitar 10 menit kemudian kereta api mulai berangkat. Tidak lama suasana khas kereta api ekonomi mulai terasa... Asongan dengan segala macam jualannya mulai nasi kuning, kerupuk, tahu, kacang, aqua, keripik, sate 02, lemper, nogosari, tisu, mainan anak-anak, alat pijat-kerokan, sate kerang, dan masih banyak yang lain. Si Pemuda petugas PJKA didepan saya mungkin karena lapar belum sarapan memanggil salah satu asongan yang menawarkan banyak jajanan, sekilas saya melihat pak penjual itu memberikan bonus jajanan lebih.
Sekitar jam 8 kurang kereta api masuk di stasiun Lawang. Serombongan pengamen dengan peralatan lengkap mulai naik. Mereka mulai menyanyikan sebuah lagu disusul acara meminta bunga-bunga sosial dari para penumpang.
Tidak lama kemudian gerbong tempat saya mulai diserbu kiriman penumpang dari gerbong didepannya hingga penuh. Termasuk saya melihat bapak-bapak yang dulu pernah sekeretaapi dengan saya yang tidak pernah membeli karcis tetapi membayar petugas pemeriksa karcis.
Setelah melalui Sukorejo saya melihat di gerbong seberang petugas pemeriksa karcis dengan alat plong-plongannya mulai menjalankan tugasnya didampingi seorang satpam. Disambungan gerbong dekat pintu juga berdiri seorang satpam. Petugas dan satpam masih muda belia sekitar umur duapuluh lima tahunan sama dengan pemuda didepan saya.
Pada saat akan memasuki gerbong terakhir nampak seorang remaja dengan jaket yang menutupi kepala berusaha pindah gerbong. Oleh petugas segera ditanya karcis dan nampak sekali jika si remaja tadi adalah penumpang gelap. Akhirnya dia ditahan oleh satpam dipintu gerbong. Petugas melanjutkan memeriksa karcis dan seperti biasanya bapak-bapak tak berkarcis memberikan uang yang secara reflek langsung diterima petugas. Berikutnya pemuda berseragam didepan saya nampak hanya mengangkat tangan. Ternyata dibangku seberang saya ibu-ibu berkebaya berkelakuan sama dengan bapak-bapak langganan tadi, sekilas saya tahu uangnya senilai setengah harga karcis resmi.
Saya melirik diatas pintu gerbong ada sebuah papan menuliskan bahwa jumlah penumpang dalam 1 gerbong 106. Jika setengah penumpang ini membayar dengan uang langsung pada petugas maka si petugas menerima 212 ribu rupiah. Jika dikalikan 5 gerbong maka hasilnya adalah satu juta enam puluh ribu rupiah.
Semoga saja saya salah.
Semoga sepur tetap dapat melayani.